Kamis, 15 Januari 2009

IR Menuju Riset: Maksimalkan Human Capital Asset

IR Menuju Riset: Maksimalkan Human Capital Asset
Refleksi Perubahan UU 13 tahun 2003 pada Perspektif Industri Nasional

Ketertinggalan teknologi ternyata bukan satu-satunya akar masalah terhambatnya pertumbuhan industri nasional. Masalah ketenagakerjaan dalam kerangka hubungan industri (Industrial Relation-IR), merupakan problem yang lebih mendasar lagi. Hal ini bisa diamati dari fenomena yang marak pada awal Mei 2006, dampak dari rencana perubahan UU No. 13 th. 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tiap perubahan lazimnya dilatarbelakangi tujuan yang baik. Belum bisa dipastikan muara suatu perubahan undang-undang, namun perjalanannya sudah jelas. Mahkamah Konstitusi (MK) akan jadi saringan akhir, jika lolos di DPR bisa batal di MK sekiranya bertentangan dengan UUD45. Jika prosedur sudah jelas, namun masih terjadi kerusuhan, tentunya ada hal lain yang jadi penyebab disamping pokok permasalahan itu sendiri.
Analisa terhadap perubahan biasanya melalui pengamatan pada 2 hal pokok; yaitu: tujuan perubahan sebagai substansi masalah, serta bentuk perubahan sebagai pembanding. Jika korelasi antara tujuan dan bentuk perubahan tidak cukup kuat, maka ada dua kemungkinan, tidak terjadi perubahan, atau kalaupun terjadi tidak akan bertahan lama. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan biasanya sangat signifikan. Sebaliknya jika hubungan antara keduanya sangat kuat, maka perubahan bisa terjadi dan tujuan bisa tercapai.
Tujuan Perubahan vs Bentuk Perubahan UU 13 Th. 2003.
Tujuan perubahan UU No. 13 tahun 2003 adalah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi masuknya investasi, yang diharapkan segera menggerakkan roda ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran. Analisa paling dasar tentang hal ini adalah pengamatan pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tujuan tersebut.
Sekitar tahun 1990-an harian Kompas menulis bahwa kendala utama investasi disebabkan kurangnya kepastian hukum, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Dalam bentuk grafik, levelnya berada diatas biaya sdm. Pertengahan pebruari 2006 SP-Pengemudi Truk Indonesia mendemo pungli yang membebani setiap truk sampai ratusan ribu perhari. Bagaimana opini yang timbul dari hal tersebut dan pengaruhnya terkait tujuan perubahan.?
Pasal 42 UU No. 13 Tahun 2003 adalah salahsatu pasal yang ingin dirubah karena dianggap berpengaruh pada investasi. Pasal ini membatasi keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia, karena tuntutan UUD 45 mewajibkan pemerintah memberi pekerjaan kepada rakyat. Pasal ini jadi lemah seiring laporan PBB tahun 2003 yang menyebutkan Indonesia termasuk kelompok terendah indeks pengembangan sdm. Bagaimana pula pengaruh dari realita serta opini yang timbul dari laporan tersebut terkait tujuan perubahan??
Lingkar Pengaruh dan Lingkar Kendali
Biaya sdm sampai kini masih dianggap sebagai salahsatu penyebab lemahnya investasi. Bagaimana dengan biaya produksi lainnya seperti harga bbm, gas dan listrik, disamping ekonomi biaya tinggi dan rigitnya birokrasi?. Kalau dilihat dari lingkar kendali dan lingkar pengaruh, apa saja yang sepenuhnya berada dibawah wewenang pemerintah yang bisa dikendalikan/ ditangani, sebelum masuk kewilayah lain yang berada diluar kendali, dan berpotensi menimbulkan rentetan masalah baru?
Jika solusi Hubungan Industri Indonesia berupa adanya kesepakatan antar pihak, darimana munculnya suatu kesepakatan kalau bukan dari kepercayaan? Darimana munculnya kepercayaan kalau bukan dari pembuktian itikad baik? Darimana pembuktian itikad baik kalau bukan dari perbaikan dilingkar kendali masing-masing pihak?
Kalau Hubungan Industri dilihat dari hubungan tiga pihak (tripartit); pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja, maka lingkar kendali masing-masingnya terhadap variabel-variabel terkait dengan tujuan perubahan adalah:
 Pemerintah: regulasi, hukum, pajak, biaya produksi; bbm, gas, listrik, infrastruktur, dll.
 Pengusaha: bentuk organisasi yang mampu menjalankan fungsi sosio-tehnikal yang kondusif bagi penciptaan hubungan industrial yang harmonis dan produktif.
 Serikat Pekerja: kontribusi anggota dalam kinerja dan produktifitas. Lebih dominant fungsi defensif, yaitu reaksi terhadap setiap aksi yang merugikan anggota dalam hubungan kerja.
Pertanyaannya apakah sudah dikaji bersama secara mendalam melalui analisa data yang komprehensif dan transparan, secara objektif mengukur variabel-variabel yang berpengaruh dan menyusunnya dalam skala prioritas, sebelum menetapkan suatu bentuk perubahan?
Berdasarkan logika, kerusuhan Mei mungkin lebih didasari masalah kepercayaan diatas, yaitu akumulasi kekecewaan yang bersumber dari rasa ketidakadilan. Hal ini bisa disebabkan belum adanya tolok ukur objektif dalam membangun komunikasi tiga pihak, sehingga apapun inisiatif pemerintah akan berpotensi menjadi pemicu kerusuhan buruh dan/ atau kekecewaan pengusaha.
Substansi vs. Crash Program
Tiga pasar tujuan industri nasional adalah domestik, regional dan internasional, saat ini sulit dikembangkan. Untuk bersaing ditingkat regional dan internasional harus punya sdm yang tangguh sebagaimana Samsung yang menjadi research company. Untuk memenuhi syarat tersebut, kondisi sdm kita tidaklah memadai, sebagaimana bukti laporan tahunan PBB.
Pasar domestik yang paling rendah tingkat persaingannya, menyimpan dilema yang tidak kalah pelik. Masalah di hubungan industri/ ketenagakerjaan saat ini menjadi faktor penyebab menurunnya daya tarik investasi. Kurangnya investasi membuat roda ekonomi tidak berputar, daya beli masyarakat lemah, sehingga produkpun tidak laku dijual.
Kesimpulan dari kronologis diatas jelas bahwa kini masalah “hubungan industri”/ ketenagakerjaan tidak semata persoalan Departemen Tenaga Kerja, namun sudah merupakan masalah bagi Departemen Perindustrian. Lalu bagaimana dua departemen ini mengatasinya?
Kecenderungan nasional saat ini terlihat lebih mengarah kepada crash program, yaitu bagaimana menyelesaikan masalah jangka pendek secepatnya dan bisa jadi cenderung menganggap remeh hal fundamental/ substansial.
Indikatornya dapat dilihat dari penetapan anggaran 9,1% APBN 2006 untuk pendidikan, sedangkan UUD 45 Bab XIII pasal 31 ayat 4 mewajibkan anggaran minimal 20% untuk pendidikan. Pada uji materi, MK akhirnya membatalkan UU. No.13 th.2005 tentang APBN sepanjang menyangkut masalah anggaran pendidikan. Walau demikian belum terlihat adanya perubahan mendasar.
Jika sektor pendidikan yang seharusnya jadi perekat guna memperkuat ketenagakerjaan sekaligus sektor industri sudah tidak bisa diharapkan, apalagikah yang masih tersisa?
Realita diatas juga menunjukkan kausalitas yang tak terbantahkan. Untuk memutar roda ekonomi, pemerintah mengejar crash program dan mengabaikan hal substansial, sehingga pendidikan dan iptek tidak dapat mendorong sektor industri. Saat ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dibidang produksi/ manufaktur makin hari kita makin tersingkir. Hanya tersisa tempat sebagai pedagang, itupun untuk dijual kepada bangsa sendiri.
Makin sempitnya ruang bagi iptek, mengakibatkan putera-puteri terbaik bangsa hasil pendidikan terbaik sekalipun, hanya menjadi potensi yang mubazir. Logikanya jelas; bahwa tanpa sektor produksi dan teknologi, bangsa kita tidak akan memiliki nilai tambah sama sekali. Akibatnya kita hanya bisa bertahan sampai seluruh kekayaan alam habis terkikis. Kondisi tersebut bisa dinamakan dengan perputaran negatif value added suatu bangsa.
Menghadapi dilema ini, dibutuhkan inisiatif terobosan guna merubah arah perputaran menjadi positif. Belajar dari negara yang berhasil, mereka merubah orientasi secara radikal, dengan kembali kepada hal substansial berbasiskan akal budi yang didefinisikan sebagai value, menyiasati sektor konsumsi dan mengembangkan seluas-luasnya sektor riset/ pendidikan.

Hal inilah yang paling mungkin dilakukan Korea saat recovery dari krisis moneter yang melanda tahun 1997. Riset ilmiah menghasilkan sistem manajemen organisasi yang dijadikan tolok ukur objektif dalam mengoptimalkan human capital. Sistem berbasis riset ini mampu menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif, disamping menghasilkan produk-produk inovatif yang menekan biaya.
Tolok ukur berbasis riset tersebut lebih diterima sebagai dasar acuan komunikasi tiga pihak (tripartite), menghasilkan inisiatif perubahan dilingkar kendali masing-masing, sehingga tahun 2004 Korea melampaui target dengan menjadi macan ekonomi asia bersama Jepang.
Gambaran diatas membuktikan perumpamaan tentang hal substansial, yaitu seperti tali pecutan. Impaknya diujung akan luarbiasa jika hal tersebut disentuh sedikit saja. Sebaliknya apakah crash program selalu bisa menyelesaikan masalah? Semoga perjalanan panjang perubahan UU13 th. 2003 tidak menjadi prototype ekonomi biaya tinggi. Semoga sudah dihitung berapa banyak sidang yang akan dilewati, demo yang akan timbul dan pabrik yang akan berhenti berproduksi, termasuk opini yang akan dihasilkan dari kekisruhannya.
Tantangan Hubungan Industri ke Depan
Perubahan acak tampaknya akan makin sukar diprediksi, sebagaimana kecenderungan makro lazimnya. Mangamati arah pergolakan hubungan industri yang makin marak, dengan puncaknya perubahan UU.13 th 2003 ini, wacana perubahan fundamental menjadi sangat mendesak untuk ditindaklanjuti…. Apakah memang sudah harus dilakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan IR menuju satu bentuk platform baru.?
Wacana tersebut kemudian berkembang menjadi: bagaimana IR membuka ruang lain selain dua kutub yang berseberangan yaitu karyawan dan pengusaha, guna menemukan jawaban dari dua pertanyaan:
1. Apakah ada bentuk lain sehingga keduanya bisa menjadi sinergis?
2. Jika ada bagaimana cara mencapainya?
Ilustrasi tambahan bagi PIC IR di perusahaan adalah bagaimana seorang inspector tidak lagi berteriak minta mesin distop (lock-out) bila terjadi trouble. Tetapi juga bisa berkontribusi pada pengendalian raw material melalui switch yang “nyambung” ke bagian plan, sehingga bisa diefisiensikan tenaga, waktu dan biaya bagi pembersihan sisa trouble, penghentian mesin, penundaan order, disebabkan oleh produk yang tidak sesuai spesifikasi karena kesalahan plan atau treatment pada raw material.
Sudut pandang lain dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan mendasar, mengapa hubungan ketenagakerjaan di Indonesia dari dulu tidak pernah menemukan bentuk idealnya. Selalu terjadi tarik menarik dengan orientasi kepentingan masing-masing. Lebih jauh tentang itu, review ini selain menelusuri berbagai pembuktian perlunya perubahan fundamental dibidang IR, juga mencoba memberikan alternatif solusi bagaimana cara mewujudkannya,
IR Human Capital Asset
Pemahaman tentang Industrial Relation (IR) yang berkembang global aktual adalah bahwa IR sudah bukan lagi wilayah kalah atau menang, tapi wilayah bagi penggalangan seluruh human capital sebagai asset utama bagi percepatan pertumbuhan industri/ perusahaan. Jelas dalam semangat dasar ILO1): “Good and stable bipartite relations is key to workplace: Efficiency, Flexibility, Stability, Productivity, Competitiveness, Equity”
Contoh kongkrit adalah teknik menggalang human capital-nya Jack Welch (GE) yang tegas menunjukkan pertumbuhan luarbiasa yaitu hampir dua kali lipat dalam waktu 5 tahun (1996-2001), dibanding waktu sangat panjang yang sudah dilewati 2). Jack Welch selaku presdir berperan sebagai pioneer bagi seluruh change agent, bersinergi dengan six sigma- nya sebagai tool yang bibitnya ditanam di lahan integral kultur-nya. Tiga kata yang digarisbawahi adalah substansi dasar untuk menghasilkan suatu perubahan.
Pengamatan pada beberapa perusahaan yang tahan dan yang rentan melahirkan pemahaman tentang Renewall Capability and Competitive Readiness3), bahwa perusahaan dengan organisasi yang berbasis Human Capital terbukti sanggup bertahan dan bertumbuh, organisasi tersebut dinamakan Developmental Organization (untuk seterusnya disini kita singkat dengan DO).
Bukan tidak mungkin realita GE ini menginspirasi terbitnya HR Scorecard tahun 2001. Pada pengantarnya David Norton (Balance Scorecard) menyatakan: “The greatest concern here is that, in New Economy, Human Capital is the foundation of the value creation. Various study show that up to 85 percent of a corporation‘s value is based on intangible assets”4).
Pertanyaan pokok ketika merefleksikan gejolak IR nasional pada perusahaan adalah: Apakah perusahaan berada diwilayah yang berorientasi kepada human capital sebagai asset atau tidak. Indikatornya secara garis besar adalah:
1. Seberapa besar pemberdayaan karyawan yang sudah dilakukan.perusahaan
2. Seberapa besar komitmen perusahaan kepada perubahan
lebih jelasnya lihat perbandingan karakteristik Traditional vs. Learning vs. Developmental organization pada referensi 3.
Jika jawabannya positif, maka potensi kapasitas perusahaan terhadap perubahan sudah memadai, namun belum renewal capability. Syarat berikutnya adalah kapabilitas tambahan bagi paktisi IR dan HR5) dibidang strategi bisnis disamping penguasaan regulasi, komunikasi, bargaining dan pengendalian krisis. Syarat terakhir adalah komitmen membangun DO dalam 3 kerangka utama; change agent, tool dan culture.
Kapabilitas dan Langkah membangun DO
Langkah yang perlu dilakukan dalam membangun kapabilitas yang dibutuhkan dalam membangun DO adalah sebagai berikut:
1. IR sebagai lapisan dasar bangunan Human Resources Management melakukan inisiatif proporsional dengan membuka wacana pembelajaran DO, untuk mengarahkan human capital pada kontribusi significant bagi penguatan dan percepatan pertumbuhan perusahaan.
2. Langkah diatas berdasarkan analisa data John Boudreau dan Edward E. Lawler5) bisa dicapai dengan tambahan kapabilitas (temuan: tingkat pemahaman business partner skill dan metric skills dibawah memuaskan dengan korelasi rata-rata dibawah 0,3 terhadap kebijakan strategy). Kongkritnya disimpulkan mereka sbb:
HR’S New Capability Requirement: To deliver the strategic organizational effectiveness vision HR will need to develop a new set of capabilities:
• Enhance understanding of the business strategy and processes
• ERM and branding: external and internal
• Data mining and financial analysis
• Information Technology fluency
• Building and managing effective strategic supplier relationship
• Knowledge management
Seiring pembangunan kapabilitas diatas, dilakukan langkah-langkah membagun DO sbb.:
a. Membangun pemahaman system thinking, dijelaskan HR Scorecard: “Thinking systematically emphasizes the interrelationship of the HR system components and the link between HR and the larger strategy implementation system…that make a system more than just the sum of its parts (see the Laws of Systems Thinking)” .
Teknik implementasi system thinking tersebut disederhanakan dengan menerapkan teknik Logic Simulation System (LSS)6), seperti dijelaskan pada langkah b. dan c. berikut:
b. Menyusun frame alur kerja ditiap unit, departemen dan divisi dengan basis job analysis7) dan SOP (seperti simpul tali). Kemudian lakukan langkah interrelasi (simpul berikut yang berkaitan), seterusnya dalam jaringan yang respon terhadap perubahan strategi perusahaan. Untuk mengatasi perubahan-perubahan acak yang jadi karakteristik business strategy, digunakan pendekatan matematis pada suatu model, yang dikenal dengan metoda simulasi8),
c. Langkah terakhir adalah menghubungkan seluruh frame interelasi diatas dalam satu bingkai terintegrasi. Kemudian dikembangkan metoda data analysis melalui perangkat pendukung sejenis PH Stat9). yang sangat sensitive dalam merespon dan mendukung setiap analisa strategi makro corporate, group dan company.
Menjadi lebih simple karena orientasinya pada pengolahan data. Berupa simpul jaringan, teknik diatas sudah diterapkan dalam bentuk grouping regulasi dengan LSS pada tahun 2003.
Selain menjadi tool bagi pencapaian implementasi DO, LSS juga dapat mempermudah pencapaian syarat kapabilitas diatas. Hal ini disebabkan kemampuannya membangun metoda instruksional yang mirip dengan model Hareaus, yaitu punya daya jelajah (explore) yang tinggi, melingkup bentuk mini dan maxi. Model ini kemudian dikembangkan oleh Instructional Development Institute, yang merupakan model paling banyak dipakai dalam pengembangan instruksional di Amerika Serikat10). Teknik ini dapat memberi impak kuat karena kemampuannya menstimulir otak kanan, memilah informasi dan memancing ide-ide tak terduga guna kreativitas solusi, improvement dan inovasi.
Melalui DO, dikembangkan kapasitas respon optimal bagi tiap perubahan yang acak dan cepat, termasuk kemampuan human capital measurement bagi pengendalian wilayah intangible yang mengkontribusi 85% total corporate value creation, serta lebih jauh lagi dari pengukuran return of investment pada setiap implementasi people development treatment, dll..
Logika dan Esensi IR Paradigma Baru
Beberapa step pernyataan berikut merupakan dasar logika perubahan IR.
 Kenapa harus IR dan HR? Karena tegas basisnya Human Capital.
 Kenapa Human Capital? Karena tegas basisnya intangible asset.
 Kenapa intangible asset? Karena terbukti 85% pengaruhnya pada pertumbuhan perusahaan, menentukan runtuh atau tumbuhnya perusahaan (runtuh ya….PHK).
Secara spesifik DO membantu agar kita bisa lebih simpel dan sederhana menyikapi tiap riak gelombang di IR (sebelum jadi tsunami yang me-luluhlantak-kan). Fondasi DO memberi percepatan penyesuaian ditiap perubahan, termasuk perubahan regulasi.
Butuh riset akademis agar LSS optimal pemanfaatannya. Selain itu tidak ada salahnya dibuka jalur pendidikan formal lanjut bidang industri/ manajemen bagi praktisi IR/ HR. Hal ini diperkuat data tentang kendala utama dibidang Operation Management dalam kaitannya dengan DO, yaitu tidak banyaknya riset yang menyentuh realitas yang ada di industri, dan sebaliknya11).
Terkait isu perubahan, essensinya cukup tegas; tidak mungkin ada satu perusahaan-pun yang tidak mau pertumbuhannya seperti GE diatas diperkuat statement ILO dan pernyataan berdasarkan evidence-nya David Norton. Kalaupun ada yang membalikkan fakta tersebut, mungkin hanya ada di lingkungan anomaly. Wilayah yang tidak dibahas disini.
Pemahaman DO harus selalu dikomunikasikan dan disederhanakan, agar bisa diimplementasikan guna membangun IR yang kini dituntut lebih dari harmonis, sehingga bisa mendukung (setidaknya tidak menghambat) pertumbuhan industri nasional. Sesederhana pemahaman tentang kenapa seorang Lech Walessa mau melamar jadi buruh lagi setelah jadi seorang presiden (sesederhana memisahkan orientasi pada value atau orientasi pada symbol).
Maka sangat layak berharap tempat yang “lebih baik” bagi mereka yang membangun tempat yang “lebih baik” bagi generasi sesudahnya. Karena dunia manusia seharusnya beda dengan dunia hewan Discovery Channel, yang makan tanpa pedulikan kelestarian makanannya. Jika mangsa habis mereka lalu memakan sesamanya (zbu.jkt.12.07.06).
Bahan Bacaan:
1). Significant of Bipartism, Alan J. Boulton - Direktur ILO Jakarta dan Carmelo C. Noriel - Chief Technical Advisor ILO /USA Declaration Project Jakarta, Seminar IR menuju paradigma baru, Depnaker RI, 2004.
2). “Six Sigma for Innovation Strategy”, Handry Satriago-GE Energy Asia Pacific Director, Seminar Innovastra 13 Peb ’ 2004.
3). Jerry W. Gilley dan Ann Maycunich, BEYOND LEARNING ORGANIZATION, PERSEUS BOOKS Cambridge, Massachusetts, 2001
4). The HR Scorecard, Brian E. Becker, Mark A. Huselid, Dave Ulrich, Harvard Business School, 2001.
5). Is HR a Strategic Partner? What Data Say, John Boudreau and Edward E. Lawler Centre of Effective Organization, University of Southern California, 2005.
6). Simulation Methods to Builds the Developmental Organization, Zukra Budi Utama, Original, Jakarta, Indonesia, 2003.
7). See Hay Guide Chart in-and Job Evaluation and Remuneration Strategy, Frank Poel, Kogan Page Limited 120 London, 1997.
8). Quantitative Techniques for Managerial Decisions, Srivastava U.K., Cambridge, Massachusetts, 1989
9). Statistic for Manager Using Microsoft Excel, David M. Levine, Mark L. Berenson, David Stephan, Prentice Hall International Inc, 1999.
10). Quantitative Modeling with Simulation System as Learning Methods to Decrease Education and Management Practitioners Gaps, Zukra Budi Utama, Original, Jakarta, Indonesia, 2003.
11). Operational Management Research Methodologies Using Quantitative Modeling, J. Will M. Bertrand and Jan C. Fransoo, Emerald International Journal of operational and production management, vol. 22 no.2. 2002 pp. 241-264)
----------------------

Tidak ada komentar: