Kamis, 15 Januari 2009

Peran HR: Harapan dan Realita

Peran HR: Harapan dan Realita
Sedih dan prihatin itulah yang mungkin terlintas di pikiran melihat realita di banyak tempat posisi HR ternyata masih belum menempati tempat yang ideal yaitu sebagai partner strategi perusahaan. Terlihat masih banyak persoalan terkait peran ini di hampir semua milis diskusi HR. Padahal peran inilah esensi yang paling mendasar dari keberadaan HR di perusahaan. Hal umum yang masih sering terlihat antara lain:
• Adanya intervensi dalam perekrutan pekerja
• Adanya hambatan ketika HR mau berinisiatif menerapkan KPI.
• Adanya order direksi agar HR mengeluarkan orang tanpa pesangon
Serta banyak lagi pelecehkan peran HR di perusahaan, disebabkan keberadaan HR yang belum dirasakannya signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan, sehingga tidak harus didengar(?).
Skill kompetensi PIC HR kita sesungguhnya cukup mumpuni, mengingat lebih dari cukup tersedianya training dan seminar HR yang canggih disepanjang tahun yang mereferensi kepada perkembangan ilmu HR mutakhir dalam skala internasional. Beberapa diantara PIC HR kita malah sudah melakukan terobosan sampai ke implementasi talent management, dan sudah membagi ilmunya di HRD Forum. Inisiatif yang layak diberi apresiasi atas kontribusinya bagi perkembangan HR kita. Lalu mengapa realita peran HR masih merupakan problem nyata di lapangan???
Tentunya kita tidak bisa menyalahkan training yang sudah cukup berkompeten. Untuk mencari akar masalahnya, marilah kita coba telaah lebih jauh.
Sekitar 4 tahun lalu saya pernah menulis paper tentang Sistem Developmental Organization dalam salahsatu studi untuk mencoba menjawab pertanyaan Emerald International Journal of Operations & Production Management Vol.22 No.2, 2002. pp 241-264, dimana Bertrand & Fransoo menyatakan: terdapat dua isu mendasar yang bersumber dari debat utama mengenai adanya gap antara teori dan praktek Operasional Manajemen. Isu tersebut adalah:
(1) Mengapa para periset tidak mengarahkan penelitian mereka pada masalah-masalah yang relevan dengan kenyataan yang dipraktekkan di dunia pekerjaan.
(2) Mengapa para praktisi tidak banyak menggunakan tool dan hasil penelitian pengembangan riset OR dari komunitas OM?
Pertanyaan yang relevan untuk bidang studi manapun termasuk HR, dimana realitanya masih diakui adanya gap teori dengan praktek di industri/ perusahaan.
Sangat disayangkan kita tidak pernah belajar dari yang sudah terjadi. Kita tetap melakukan langkah yang sama dalam menjawab tuntutan peran strategi HR
Konklusi yang diberikan sebagai hasil studi adalah:
1. Menjadi lebih mudah bagi para periset dan praktisi untuk meneliti dan mengaplikasikan metoda OM melalui riset operasional di suatu perusahaan, apabila perusahaan itu sudah mengembangkan tipe organisasi developmental sesuai dengan karakteristiknya sebagaimana sudah dibahas diatas.
2. Langkah mendasar yang harus dilakukan perusahaan secara kongkrit untuk membangun Developmental Organization adalah:
(1). Re-engineering HR Department (Jerry, 2001)
(2). Melakukan pengembangan komprehensif terhadap tiga aspek pokok;
a. Change Agent.
b. Culture Change
c. Tools
Ketiga aspek tersebut harus diikat dalam satu Learning Methods; berupa pengembangan metoda instruksional yang terintegrasi dengan pengembangan budaya dan sdm.
(3) Mengontrol proses point (2) secara sistematis dan berkesinambungan melalui pengembangan system OR yang terintegrasi.
3. Untuk pengembangan komprehensif terhadap tiga aspek pokok diatas harus dibangun sistem riset komprehensif terhadap keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu perubahan dalam kerangka Developmental Organization, yaitu;
(1) Change agent; terkait karakter individu dan metoda pendidikan yang tepat dalam menghasilkan individu yang siap untuk melakukan perubahan.
(2) Culture; sifat dari suatu entitas dalam menyikapi setiap perubahan.
(3) Tool; dalam bentuk sistem simulasi yang terukur dan melewati suatu proses riset yang valid, komprehensif dan terintegrasi dengan tiga aspek sebelumnya.
Hasil studi kemudian dikembangkan diantaranya terkait dengan peran strategik HR sehingga menemukan hipotesis yang menyatakan bahwa peran strategic HR tidak tercipta dari suatu fokus tujuan, melainkan adalah suatu ekses dari proses membangun suatu organisasi sehingga menjadi organisasi yang berkembang, dengan indikator yang dapat dilihat dari pekerjanya yaitu:
 setiap karyawan bangga jika menemukan kesalahan dalam sistem kerjanya sehingga bisa melakukan perbaikan yang mempermudah pelaksana sesudahnya serta bermanfaat bagi perusahaan.
 setiap karyawan cenderung membantu mengangkat dan mendukung prestasi orang lain (bukan menutupinya) karena ingin belajar dari kelebihan orang, demi peningkatan profesionalisme sehingga bisa lebih bermanfaat bagi perusahaan.
 Setiap karyawan cenderung untuk memberi lebih dari yang diharapkan darinya.
Suatu kondisi yang masih langka kita temukan di lingkungan sekitar kita, merupakan tugas HR untuk membangun spirit pekerja menjadi budaya developmental sebagaimana 3 indikator diatas. Tidak akan sulit selama HR mau menjadi pionir dengan memulai membentuk sikap yang sama dengan 3 indikator tersebut, bukan lagi ekslusif dan menjadi sosok misterius yang mengambil jarak dengan seribu satu alasan tentang hal yang bersifat konfidensial.
Bagaimana menurut anda?
(zbu/12/08).

Tidak ada komentar: