Kamis, 15 Januari 2009

Logic Simulation System (LSS)Dari perspektif Alat Bantu

Aliran control proses secara vertical dan horizontal dalam format tool function by Logic Impulse Technique in Stationer Flow, secara horizontal flow mengacu pada pendekatan Mekanika Fluida menjamin kelancaran proses memenuhi target “cepat” dan secara vertical flow pada pendekatan Quality Control yang menjamin target “baik” dalam quality dan ”murah” dalam cost. Kalau dilihat dari atas akan seperti struktur jaring Laba-laba.
Secara menyeluruh jika dilihat dari cara proses kerja system akan meliputi Six Sigma dan BSC, yaitu:
Pengendalian hasil melalui pengendalian proses
(Six Sigma)
+
pada setiap level system yang terintegrasi
(Balance Scorecard)
Kesimpulan:
Tool hanyalah alat bantu, sama seperti senjata bagi samurai atau pesilat, namun sangat menentukan survive atau mati pada bisnis. Terdapat bermacam jenis senjata dan setiap orang bebas memilihnya untuk satu tujuan membeladiri dan bertahan hidup. Setiap bangsa punya selera dan kebiasaan yang berbeda-beda (contoh ; boomerang hanya ada di Australia tidak ada di Jepang, dan sumpit ada di Kalimantan).
Begitu juga dengan tool manajemen, cenderung akan menjadi alat yang tangguh jika pengembangannya disarikan dari nilai-nilai yang ada dalam kultur. Umumnya kultur dibangun dari perjalanan hidup bermasyarakat khas masing-masing bangsa. Maka cenderung system yang tercipta disuatu bangsa akan lebih bermanfaat bagi perusahaan bangsa itu sendiri.
Contoh:
Bill Smith, Bob Galvin dan Jack Welch dengan six sigma atau Shewhart, Juran, Deming, Crossby dan Ishikawa dengan TQM.
Hipotesis dan evidencenya:
TQM dikembangkan oleh Shewhart, Juran, Deming, Crossby dan Ishikawa dinegara Jepang sukses dipakai perusahaan berbasis budaya Jepang (sukses bagi Toyota), kurang sukses digunakan oleh perusahaan berbasis budaya Eropa, sehingga Bill Smith memodifikasinya dengan menambahkan alat control statistic dan menamakannya dengan Six Sigma (sukses bagi Motorola dan GE).
Keunikan LSS:
Bentuk aliran vertical dan horizontal dalam satu kesatuan pada Sarang Laba-laba ada kesamaan dengan Balance Scorecard atau Six Sigma + Good Governance.
Budaya Indonesia yang unik (diantaranya; feodalisme, tepo-seliro dan mendemjero, dll.) sehingga mampu berkonspirasi secara terintegrasi dari level paling bawah sampai level paling atas, mengharuskan adanya tool yang menyatukan manajemen bisnis dan manajemen moral sekaligus. Kesatuan ini tidak bisa terpisah, beda dengan BSC dan SS yang focus pada manajemen untuk hasil terbaik bagi kompetisi bisnisnya (sedangkan control moral ditempatkan secara terpisah).
Inilah alasan mengapa Manajemen Sarang Laba-laba cocok bagi system manajemen di Indonesia.
Semoga terjawab pertanyaan mengapa si Pitung agak sedikit canggung menggunakan samurai walau beda sedikit dari goloknya, namun fakta membuktikan bahwa suatu kemenangan ternyata sangat ditentukan oleh selisih nilai yang sangat sedikit (selisih juara 1 dan 2 juara lari 100m olimpiade hanya 0,02 detik).
Evidence lain:
Kultur menjadi alasan yang membuat Samsung secara simple memposisikan dirinya sebagai research company. Tool apa saja silakan beradaptasi dengan maunya mereka.
Dampaknya dalam waktu sangat singkat (1998-2006) Samsung menjadi nomor satu dalam teknologi semikonduktor dan tegas menyatakan siap untuk mendahului Nokia, berkat teknologi nano (future LCD) yang sepenuhnya menjadi hakciptanya.
Budaya riset ini berkembang cepat diseluruh korea, sehingga Negara ini menjadi macan baru asia sesudah Jepang.
Bukti ini menyadarkan kita untuk tidak lagi melecehkan riset dengan uji akademis, melalui pameo pembelaan diri “ ah… teoriii” atau istilah “tidak membumi” yang disalahgunakan. Sudah saatnya kita mau sedikit berpikir lebih dan mengembangkan sikap ilmiah di pekerjaan, agar setiap tindakan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga investor tidak perlu berpikir dua kali.
Bagaimana menurut anda?

Tidak ada komentar: