Selasa, 13 Januari 2009

Kendala dan Solusi Masalah Hubungan Industrial

Kendala dan Solusi Masalah Hubungan Industrial

Industrial Relation (IR) atau hubungan industrial secara khusus muncul dari adanya hubungan kerja antara dua pihak yaitu pengusaha dengan pekerja. Secara umum ditambah dengan unsur pemerintah, di Indonesia dengan didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan global ikut merubah sistem hubungan ini di Indonesia. Terbitnya UU 21 tahun 2000 yang menjamin hak pekerja dalam berserikat memperjuangkan hak-haknya, menjadikan IR sebagai salahsatu faktor krusial yang sangat berpengaruh kepada kelangsungan usaha.

Proses take and give sebagai inti proses Hubungan Industrial
Pada intinya suatu hubungan industrial adalah suatu proses take and give antara keduabelah pihak berdasarkan kesepakatan bersama. Pemerintah hanya bisa mengatur melalui pembatasan:
- Minimal yang harus dibayar perusahaan kepada karyawan.
- Minimal syarat yang harus dipenuhi pekerja.
- Sanksi maksimal bagi keduabelah pihak.
Metoda lama hanya bisa mengukur berapa perusahaan harus membayar, bukan berapa karyawan harus memberi.
Ukuran prestasi pada dasarnya dilihat dari sudut pandang pengusaha yang sepenuhnya diberi wewenang menentukan syarat prestasi. Biasanya hampir sepenuhnya mengacu pada pemenuhan tata tertib, sedang untuk hal lain yang bersifat intangible belum menjadi faktor yang terukur, padahal intangible mempengaruhi 80% dari pencapaian perusahaan. Hal ini disebabkan belum adanya ukuran yang dapat dipahami dan diterima oleh keduabelah pihak.
Kondisi ini sebenarnya merugikan bagi keduabelah pihak. Sulitnya membedakan mana pekerja yang berkontribusi kurang, sedang dan lebih, menyebabkan pekerja tidak lebih dari sekedar nomor registrasi, yang diatur dikendalikan layaknya mesin untuk menghasilkan nilai produksi sedemikian. Pengusaha hanya membayar status pekerja semata, bukan fungsinya. Untuk bisa mendorong produksi dilakukan metoda birokrasi yang ketat dalam pengawasan.

Perlunya Metoda Pengukuran Kontribusi
Perubahan cepat yang terjadi termasuk dibidang IR, menuntut perubahan pula dalam penanganan inti proses. Metoda lama mulai ditinggalkan karena terbukti tidak efektif dan berpotensi mematikan motivasi dan kreatifitas pekerja. Perusahaan multi nasional secara drastis meninggalkan pendekatan birokrasi. GE menamakan dengan boundaryless sehingga mereka bisa mengadaptir perubahan cepat dan berjaya dalam memimpin market.
Hal ini sejalan dengan arah pengupahan Indonesia yang papernya disampaikan menteri tenaga kerja pada acara Bimbingan Teknis Sistem Pengupahan berdasarkan Produktivitas. Pada Paper ditampilkan tabel tentang nilai tambah dan kenaikan upah. Variabel nilai tambah digambarkan dari kenaikan nilai produksi (tabel 1).
Permasalahannya adalah dalam penerapan metoda ini secara jangka panjang disuatu perusahaan, dimana nilai tambah tersebut harus terintegrasi sebagai angka kontribusi per-orang. Jika tidak tepat dalam pola integrasinya akan menimbulkan banyak kerancuan dan pertentangan sebagaimana sudah terjadi di negara Korea Selatan yang coba mengimplementasikan metoda ini. Malah metoda ini dianggap sebagai kontra demokrasi yang memicu perpecahan karena persaingan dikalangan pekerja.
Solusi
Syarat utama untuk dapat melakukannya dengan baik adalah punya tool dalam mengukur kontribusi pekerja dalam seluruh faktor termasuk wilayah intangible, dimana GE terkenal dengan tool six sigma-nya.
Sayangnya tidak semua perusahaan bisa mengikutinya karena syarat ini harus dilengkapi dengan dua syarat lagi yaitu;
- kultur perubahan yang menjadi ruh dalam tool, karena tool tidak bersifat generik, namun harus tercipta dari dalam.
- change agent yang lahir seiring kultur perubahan.
(Zukra Budi Utama, Jan 2007)
-------------------

Tidak ada komentar: